“Bisa dimatikan sebentar lampunya, Nak?” Nenek itu meminta tanpa menoleh. Pandangannya tertuju kepada sebuah batu besar yang ada di hadapan kami. Saya tahu itu ditujukan ke saya. Tak ada satu pun di antara kami kecuali saya dan dia yang menggunakan penerang di lorong gelap bawah tanah ini.
Di segala arah, yang mampu terlihat adalah batu-batu karst besar. Kiri, kanan, atas, dan bawah. Semuanya. Kotoran kering kelelawar berserak di lantai.
“Boleh,” jawab saya, lantas menekan tombol off pada lampu emergency itu.
Jarak pandang kian menipis. Kini wajah tiga rekan yang tepat berada di samping saya pun terlihat samar-samar. Jarak pandang ke segala arah tak lebih dari satu meter. Padahal, dengan dua penerang yang masih menyala saja, ruangan ini masih terasa gelap.
“Kita sedang berada dalam perut bumi, nak….” Ia mulai merapal dalam bahasa Aceh yang kental. Nada bicaranya cepat.
“…Jangan takut. Beginilah kondisi kita dalam kubur nanti.”
Lalu, sejurus kemudian. “Huuh.” Ia menghembuskan udara agak kencang, tepat ke arah teplok itu. Satu hembusan nafasnya sudah cukup membuat teplok itu padam.
Kini gelap sudah. Semuanya serba hitam pekat. Saya mencoba melihat ke arah rekan-rekan saya. Nihil. Sekelebat pun mereka tak tampak. Padahal, saya yakin penuh mereka belum bergerak selangkah pun. Di ruang tanpa cahaya itu, suara nafas pun mampu terdengar.
***
Bayangkan, Anda berada di dalam lubang gelap menganga di dalam perut bumi yang asing sama sekali. Semua yang mampu Anda lihat adalah kegelapan, hitam dan pekat. Bahkan teman di sisi bahu pun tak nampak sama sekali. Walau pun hanya semenit, itu sudah cukup membuat nyali ciut.
Awalnya ‘tour’ berjalan normal. Nur Budaisyah memandu perjalanan di dalam gua. Dengan cahaya teplok seadanya, ia berjalan paling depan mengunjungi titik-titik yang katanya bersejarah.
Sayed, takzim mendengar dan membuat catatan kecil perjalanan. Foto: Sammy Khalifa |
Seperti ‘pinto geurbang’ misalnya. Yakni Dua buah batu yang bercagak vertikal seperti tiang gawang. ‘Pinto geurbang’ ini disebut sebagai gerbang untuk memasuki gua. Padahal, lokasinya sudah jauh ke dalam.
Atau ‘Siwah Rajawali’, sebuah batu berbentuk elang dalam posisi sujud. Batu itu, oleh Nur Budaisyah, dikatakan harus menjadi pengingat bagi kita agar senantiasa mengingat tuhan. “Binatang saja bersujud kepada tuhan,” katanya.
Juga ‘batee meugantung’. Batu seukuran televisi 28 inch itu tampak seperti bergantung di langit-langit di salah satu sisi gua.
“Coba lihat, bagaimana itu bisa tergantung…”
Siwah Rajawali. Berbentuk seperti elang sujudkah? Foto: Sammy Khalifa |
Nur Budaisyah juga bukan satu-satunya guide untuk memasuki Guha Tujoh. Ada banyak guide-guide lain, mulai dari anak-anak hingga orang tua seperti Nur Budaisyah yang sudah bercucu sembilan itu. Saat mendatangi gua, mereka akan antre menawarkan diri untuk menjadi pemandu perjalanan. Tarifnya? ‘Seikhlasnya’.
Sebagai tempat wisata, pengelolaan Guha Tujoh ini masih jauh dari kata baik. Minggu, 8 Desember 2013 saat kami datang, sampah anorganik berserak di lantai-lantai di dalam gua. Mulai dari plastik kemasan mie instan hingga botol air mineral bekas. Oleh Abdullah, guide lainnya yang menyertai kami dalam kunjungan Minggu sore itu, sampah-sampah itu dikatakan dibawa oleh rembesan air hujan.
Selain sampah yang cukup mengganggu, juga tidak ada papan informasi untuk penjelas titik-titik bersejarah di dalam gua. Satu-satunya sumber penerang hanyalah teplok atau senter yang dibawa oleh pemandu (atau pengunjung membawa penerang sendiri, seperti kami yang membawa lampu emergency). Juga tak ada patokan biaya untuk sekali panduan, keculai dalam label ‘seikhlasnya’ itu. Bahkan di antara pemandu, masih terkesan muncul rebutan pengunjung.
Satu lagi, dinding-dinding gua juga telah dicoret-coret dengan tulisan alay nan narsis. Batu-batu itu sudah dijamah dengan ukiran semisal nama atau tanggal mengunjungi tempat itu. Sungguh tak elok.
Padahal, Guha Tujoh sudah menjadi salah satu situs wisata yang dipajang di website resmi Pemerintah Kabupaten Pidie. Sayang saja, objek wisata yang bahkan sudah dipromosikan di laman daring pemerintah pun rupanya masih tak diurusi oleh pemerintah.
***
Guha Tujoh berada di arah timur kaki Gunung Seulawah, tepatnya di Desa Cot Laweung, Kecamata Muara Tiga, Pidie. Dari Sigli, ibukota kabupaten Pidie, jaraknya kira-kira 28 kilometer.
Perjalanan ke Guha Tujoh dari Sigli bisa dilalui melalui jalur Laweung maupun jalur Grong-Grong. Namun jika Anda bergerak dari Banda Aceh melalui jalan negara Banda Aceh-Medan, jalur melalui Simpang Laweung akan lebih duluan ditemui. Ada pamflet penunjuk ke arah sana.
Namun kami memilih jalan yang, hmm, agak berbeda pada sore Minggu awal Desember itu. Berangkat dari Banda Aceh, kami lebih memilih jalan Krueng Raya-Laweung. Ini jalur yang tak lazim dipilih untuk lintas Banda Aceh-Pidie.
Mengapa lewat Krueng Raya? Foto berikut ini mungkin bisa menjadi alasannya.
Perjalanan ke Guha Tujoh melalui Krueng Raya seperti kata peribahasa: sekali berlayar, satu dua pulau terlampaui |
***
Hakikat perjalanan pada dasarnya adalah untuk memperbaharui hidup. Melalui perjalanan, kita bisa mendapat pelajaran hidup dan pengalaman baru.
Satu menit saat Nur Budaisyah mematikan semua sumber cahaya di dalam gua, kami ciut dan merasa sendiri. Maka bagaimana pula saat berada sendiri di liang lahat sempit dalam waktu tak diketahui itu?
Sumber: ertaufik.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar