Menyusuri Banda Aceh, sudah pasti banyak menemukan tempat-tempat menarik dan pantas untuk disinggahi. Begitu yang saya rasakan, pada awal kedatangan saya ke kota ini di awal tahun 2011 silam. Melihat banyaknya objek wisata menarik di Banda Aceh, membuat saya beranggapan bahwa kota ini adalah kota wisata yang layak dikunjungi oleh para wisatawan dari seluruh dunia.
Tidak ada keraguan dalam benak saya, ketika melihat banyaknya objek-objek menarik yang bisa membuat mata saya tak henti memandang, membuat pikiran tak henti mengingat dan membuat lidah tak henti mengucapkan “Begitu harmonisnya kota ini”.
Saat mengunjungi beberapa tempat di Banda Aceh, saya yang merupakan pendatang baru di kota yang asing ini, sempat terkagum-kagum dengan kemegahan bangunan dan objek-objek wisata yang ada di seluruh penjuru kota. Terlebih saat menyempatkan waktu untuk shalat magrib berjamaah di Baiturrahman yang merupakan masjid kebanggaan rakyat Aceh ini. Seketika saja saya merasakan keteduhan, kedamaian dan khusyuk-nya berada disini.
Tempat lain yang seakan membuat saya larut dalam duka yang mendalam, adalah saat mengunjungi Museum Tsunami Aceh, didalamnya menyimpan kenangan dan bukti nyata betapa dahsyatnya mega musibah yang pernah menerjang kota dan rakyat Aceh pada 2004 silam. Namun, sekarang sudah jauh berubah, Banda Aceh dan masyarakatnya kembali bangkit dan menata hidup yang baru. Hal ini dapat dilihat dari bersemangatnya geliat pembangunan yang saban hari kian mewarnai kota tua peninggalan Kesultanan Aceh Darussalam ini.
Hari-hari berikutnya, dengan hanya mengandalkan jalan kaki, saya melanjutkan penjelajahan menyusuri berbagai objek lain, seperti Museum Negeri Aceh, PLTD Apung, Taman Wisata Krueng Aceh dan berbagai tempat lainnya.
Kini, setelah sekian lama menjejaki kota yang berhadapan langsung dengan Selat Malaka ini. Saya baru menyadari bahwa bukan hanya tempat seperti tersebut diatas saja yang menarik untuk dikunjungi. Ternyata, masih banyak tempat lainnya yang tidak kalah menarik, meski minim fasilitas dan kurang populer dikalangan wisatawan. Namun, tempat ini cukup menafsirkan bahwa Banda Aceh adalah kota wisata dan masih banyak potensi yang belum digarap secara maksimal.
Ada sebuah kawasan pantai dengan muara sungai didekatnya, tambak dengan hutan mangrove dan dengan view menghadap ke Pulau Weh, Sabang. Tempat ini memang belum dikelola dengan baik oleh pemerintah kota, walau demikian tempat ini sudah sering dikunjungi oleh pengujung, khususnya mahasiswa dan masayarakat sekitar yang menyukai wisata yang dekat, murah meriah dan efesien waktu. Lokasinya cukup strategis, berada di Kecamatan Syiah Kuala dengan dua Universitas besar di Aceh yang masuk dalam komplek pelajar mahasiswa Darussalam.
Alue Naga, begitulah nama yang sering saya dengar. Entah mengapa namanya seperti itu, dan apakah ada kaitan sejarah dari asal muasal dari penamaan tempat ini? Sampai saat ini saya masih bertanya-tanya tentang hal tersebut. Jika melihat secara bahasa nama tempat tersebut dapat diartikan, Alue (sungai kecil) dan Naga (hewan fiktif dalam mitologi Cina).
Alue Naga menawarkan perpaduan alami dari pantai, lautan, muara sungai, hutan mangrove, dan aktivitas nelayan yang dapat secara mudah dijumpai. Dijamin anda akan merasa santai dan nyaman jika mengunjunginya, begitulah yang saya rasakan saat mengunjungi tempat ini.
Waktu yang paling tepat untuk mengunjungi Alue Naga adalah ketika matahari mulai condong ke arah barat. Pada saat seperti ini akan banyak pengunjung lain yang datang untuk sekedar menghabiskan waktu dan menutup harinya dengan melihat sunset yang berlabuh ke dalam samudra.
Ketika pertama kali kesini, banyak hal yang saya dapatkan, mulai dari kegiatan para nelayan dengan perahu tradisionalnya sampai dengan sebuah bekas jembatan yang runtuh akibat terjangan tsunami, yang hingga saat ini belum diperbaiki. Bagi yang ingin memancing, di Alue Naga tersedia tanggul-tanggul yang cocok untuk spot pemancingan. Sementara yang suka berolahraga seperti joging, tempat ini bisa dijadikan sebuah trek yang menarik.
Bukan hanya itu di tempat ini juga ada sebuah situs sejarah masa penjajahan, sebuah bangunan yang berbentuk tugu dengan ukuran 1x1 dan tinggi hampir tiga meter. Terdapat dua buah situs disini disebelah timur dan disebelah barat yang dipisahkan oleh sebuah muara. Dalam plakat situs tersebut tertera keterangan tentang bekas Benteng Kuta Kaphee, namun sayang tidak banyak yang tersisa dari peninggalan masa kolonial ini.
Benteng Kuta Kaphee dapat diartikan sebagai sebuah tempat pertahanan dari musuh atau orang Aceh sering menyebutnya dengan kata kaphee. Benteng ini merupakan peninggalan sejarah pada masa Belanda, tidak banyak data mengenai bekas benteng ini, namun dari hasil googling saya menemukan sebuah foto tentang benteng tersebut. Situs benteng ini oleh orang Belanda dikenal dengan nama Lamjong atau Lamnyong. Mungkin dari sinilah asal mula kata lamnyong seperti yang dikenal saat ini. Sayang, benteng yang sarat akan nilai sejarah ini sengaja dihancurkan antara tahun 1989-1990, saat pembuatan proyek sungai Krueng Aceh. Kini yang tersisa hanyalah sebuah tugu penanda, bahwa di tempat ini dulunya pernah berdiri sebuah benteng.
Puas menikmati segala sudut Alue Naga, kini saatnya menikmati sunset yang turun perlahan dan tenggelam ke balik samudra luas, kemudian diikuti oleh azan yang bergema memenuhi segala ruang di Banda Aceh. Hingga pada akhirnya semua pengunjung pun akan beranjak pergi dari tempat yang menawan ini. []
Sunset di Pantai Alue Naga
Saat matahari mulai tenggelam di balik samudra
Perahu nelayan di Pantai Alue Naga
Bekas hantaman tsunami
Kuta Kaphee pada masa kolonial Belanda
bekas situs Kuta Kaphee atau Benteng Lamnyong
Sumber : bloqwist